.jpg)
Kaget bukan kepalang melihat head line berita hari ini, ‘Malaysia memasukkan ketupat sebagai makanan kebangsaannya’. Selain ketupat juga tumpeng, rendang bahkan es cendol. Ampun dah..... Tak habis pikir jadinya, negeri jiran itu cari-cari perangkat budaya seakan identitas mereka.
Bicara kupat, atau ketupat, teringat saat lebaran ini. Tepat di malam menjelang hari raya, semua orang mengepulkan dapur mereka dengan olahan khas lebaran, pastinya ketupat, atau lontong opor ayam kampung ditambah krecek pedas. Mmmm...lezat.
Tanpa diminta tapi pasti, sampailah olahan khas lebaran ini di meja saya. Ketupat tak sekedar ketupat, ketupat menyimpan makna mendalam jati diri sejati masyarakat jawa.
Cerita Ki Juru Bangunjiwo –bukan simbah, dukun atau paranormal- dia ada karib saya, sajian lebaran dalam bentuk ketupat sebenarnya mengintikan seribu permohonan maaf. Ketupat diambil dari kata telupat, dibuat dari tiga lembar anyaman dari dua janur. Janur –daun muda pohon kelapa- bagi orang Jawa melambangkan dyaning nur atau si Empunya terang. Makna lainnya juga ngaku lepat atau mengaku salah. Manusia Jawa hidup bersama dan tidak lepas dari lali, luput dan apes –lupa, salah dan naas.
Nah, saat ketupat itu mampir ke meja makan dihantar oleh tetangga dengan senyuman, inilah hantaran sekaligus tanda permohonan maaf. Ucapan maaf lahir batin mengalir dalam kelezatan ketupat dan gurihnya opor. Pastikan dyaning nur merasuk dalam hati diterima dengan lapang dada.
Kelezatannya menjadi sempurna, semangat dari tradisi ini adalah kerendahan hati mengakui semua kesalahan. Datang, menghampiri dan mengucap kata ‘maaf’ sekaligus memaafkan. Dalam pandangan sosiologis, inilah realitas sosial, sebuah upaya aktif mengupayakan perdamaian, penciptaan keharmonisan antar tetangga. Bayangkan bila hal ini terjadi di tingkat nasional. Lebaran nasional dengan ketupat nusantara. Pasti asyik hidup di bangsa yang kaya budaya dan toleransi.[pasc]