Kamis, 30 April 2009

Tradisi Untuk Rumah Baru

Heran melihat rumah baru yang kuda kuda atapnya di beri bendera merah putih dan seikat padi? Itu namanya ‘mendirikan MOLO’ atau mendirikan rumah itu sendiri. Bukan membangun tembok dan memasang kayu, mencampur semen, pasir dan air menjadi adonan bangunan. Mendirikan molo berarti membangun pondasi spiritual sebuah bangunan. Gampang gampang susah tapi orang jawa itu bila mau melakukan sesuatu harus memastikan dasrnya dulu agar kuat.

Nah..Selain bendera merah putih terdapat juga tebu, seikat padi dan kelapa gading. Semuanya dipasang diatas, diatap rumah. Ini mengartikan semua yang berada dalam rumah akan diberi kelimpahan pangan. Dasar orang jawa, kibar bendera bah 17 agustus ini belum dirasa cukup. Masih terdapat banyak perangkat lain dalam bentuk sesaji. Tak hanya di ikat dalam kuda kuda rumah tapi juga dipasang dibawah berjajar di lantai rumah. Bayangkan aja, tidak kurang dari 30 jenis perangkat saji harus dibuat. Ada nasi golong, nasi yang dikepal berbentuk bulat bermakna gumolong –bergulung menyatu. Apanya yang menyatu ya penghuni atau segala sesuatu yang menguntungkan si tuan rumah itu.

Ini baru satu nasi belum lagi nasi ambeng ambengan, kolak, ketan dan apem. Wong jowo tu biasanya menggunakan elemen alam untuk mengingatkan dirinya akan aturan aturan. Setelah memaknai nasi golong sesuai bunyinya yaitu gumolong, terdapat juga KOLAK yang mengingatkan kata TOLAK, wah agak dipaksa tapi lumayan mengingatkan. Itu lho makanan khas kampung kolak -yang kita biasa makan saat buka puasa- kalau ditaruh sebagai perangkat sesaji menjadi media ‘Tolak’ segala yang jahat. Hebat tho...!!Temennya kolak, pasti ada KETAN. Beras ketan yang direbus dikasih parutan kelapa. Enak dan gurih namun ketan disini mengingatkan kita akan sifatnya yang lengket. LENGKETNYA ketan lengket atau raketnya siapapun yang bernaung didalam rumah ini. Menyatu tidak terceraikan.

Nah untuk apem, karena bentuknya yang montok mengingatkan kita kalau sesuatu yang montok itu yang berisi –lebih baik dari yang datar. Disajikan sebagai perangkat agar rejeki rumah ini juga montok, menggelebung gitu.

Oya..ada juga berbagai hasil pertanian yang sifatnya merambat, tertimbun ditanah, dan menggantung. Ini sih hanya bagian dari sumber pangan dari alam yang dimasukkan untuk memancing melimpahnya sumber pangan dalam rumah ini.

Seluruh sesaji ini hanya didoakan oleh pak kaum, bagi yang mampu ‘mengundang ‘konco kaji untuk mendoakan bersama sama. Banyaknya! ya... sekitar 10 orang gitu. Semakin banyak yang mendoakan semakin kabul doanya. Ingat orang jawa memusatkan doa kepada TUHAN YME sebagai entitas tertinggi. Selain Yang Tertinggi juga ‘mereka’ yang ‘lain’. Orang jawa ‘mempertimbangkan’ semua mahkluk entah yang namanya eyang sapu jagat penunggu merapi, nyai ratu selatan penunggu laut selatan, nyai atau kyai penunggu rumah yang tinggal lebih dulu di area desa atau tempat wingit sekitar. Hebat ya...mereka dipertimbangkan, mendoakan, memohon ijin. Semua akan uluh dengan sesaji mendirikan molo alias ....disogok!! dengan sesaji itu tadi....he he he....

Walhasil ini baru awal...semua terbukti hingga rumah itu berdiri. Soal lancar tidaknya....menggunung tidaknya rejeki...atau harmonis tidaknya pengghuni dalam sehari setelah berdirinya rumah? Atau seminggu .....atau setahun.....ya gak tau!!! Molo sudah tidak mau urusan rumah tangga orang. Toh tugasnya selesai sejak rumah itui terbangun tanpa gangguan!!! [pasc]

Menu Spesial: Kepala Kerbau Bagi Sang Bhatari

persiapan perangkat di altar alas Krendawahana
Foto: Pascalis P.W.

Kepala kerbau sebagai menu santap siang, pasti lezat selezat makanan olahan kepala kerbau di masa kerajaan Demak. Itu terjadi karena kerajaan Demak begitu menghormati tradisi Majapahit yang notabene beragama Hindu dan menghormati sapi sebagai wahana Dewa Wisnu. Dengan begitu tradisi qurban yang biasanya menyembelih sapi, diganti dengan kerbau.

Tak hanya masa kerajaan yang penuh dengan romantisme kekuasaan dan keasrian, masa teknologi digital sekarang masih saja yang menyembelih kerbau untuk sarana sesaji. Hebat bukan? Kerbau tu mahal dan bukan keluarga kraton kasunanan Surakarta bila tidak mampu menyelenggarakan kebiasaan ini. Kepala kerbau ini sengaja dibawa untuk dijadikan sesaji bagi bhatari Kalayuani di alas Krendowahana –sekitar 10 km arah utara kota solo.

Kepala kerbau, walang, bahkan ciu –minuman fermentasi- menjadi menu spesial bagi sang Bhatari penungu alas Krendawahana. Tak sembarang kerbau, kerbau yang ini sangat lezat bila disajikan saat masih perjaka alias belum pernah kawin dan belum pernah dipekerjakan. Alas Krendawahana adalah benteng utara kraton surakarta, pantas kiranya bila benteng spiritual ini masih dipertimbangkan. Dulu alas Krendawahana menjadi pusat dari seluruh penjaga dunia spiritual Jawa. Tak hanya negeri girimulto –tahun 387 m, kerajan Pengging, bahkan kerajaan Demak dengan 9 walinya pun harus mengikuti tradisi ini karena tak mempan menanggulangi bebendu –bencana- yang melanda negeri Demak saat itu. Sunan Kalijaga lah yang mendapat wahyu untuk memasan sesaji di alas Krendawahana. Tentu saja beberapa prosesinya diutak atik agar sesuai dengan aturan keislaman, termasuk diantaranya doa yang dipimpin oleh para sunan.

Saat ini mahesa lawung –begitu para abdi dalem ini menyebutnya, dilaksanakan untuk menjaga keutuhan kraton surakarta dan bangsa Indonesia. Hebat bukan hanya dengan kepala kerbau semua orang menjadi selamat. [pasc]