Kepala kerbau sebagai menu santap siang, pasti lezat selezat makanan olahan kepala kerbau di masa kerajaan Demak. Itu terjadi karena kerajaan Demak begitu menghormati tradisi Majapahit yang notabene beragama Hindu dan menghormati sapi sebagai wahana Dewa Wisnu. Dengan begitu tradisi qurban yang biasanya menyembelih sapi, diganti dengan kerbau.
Tak hanya masa kerajaan yang penuh dengan romantisme kekuasaan dan keasrian, masa teknologi digital sekarang masih saja yang menyembelih kerbau untuk sarana sesaji. Hebat bukan? Kerbau tu mahal dan bukan keluarga kraton kasunanan Surakarta bila tidak mampu menyelenggarakan kebiasaan ini. Kepala kerbau ini sengaja dibawa untuk dijadikan sesaji bagi bhatari Kalayuani di alas Krendowahana –sekitar 10 km arah utara kota solo.
Kepala kerbau, walang, bahkan ciu –minuman fermentasi- menjadi menu spesial bagi sang Bhatari penungu alas Krendawahana. Tak sembarang kerbau, kerbau yang ini sangat lezat bila disajikan saat masih perjaka alias belum pernah kawin dan belum pernah dipekerjakan. Alas Krendawahana adalah benteng utara kraton surakarta, pantas kiranya bila benteng spiritual ini masih dipertimbangkan. Dulu alas Krendawahana menjadi pusat dari seluruh penjaga dunia spiritual Jawa. Tak hanya negeri girimulto –tahun 387 m, kerajan Pengging, bahkan kerajaan Demak dengan 9 walinya pun harus mengikuti tradisi ini karena tak mempan menanggulangi bebendu –bencana- yang melanda negeri Demak saat itu. Sunan Kalijaga lah yang mendapat wahyu untuk memasan sesaji di alas Krendawahana. Tentu saja beberapa prosesinya diutak atik agar sesuai dengan aturan keislaman, termasuk diantaranya doa yang dipimpin oleh para sunan.
Saat ini mahesa lawung –begitu para abdi dalem ini menyebutnya, dilaksanakan untuk menjaga keutuhan kraton surakarta dan bangsa Indonesia. Hebat bukan hanya dengan kepala kerbau semua orang menjadi selamat. [pasc]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar