Senin, 19 Oktober 2009

Baritan, Tradisi Ramah Lingkungan


SAMIGALUH-YOGYAKARTA. Secepat apapun melaju, L300 buntut ini tetap saja ndak menunjukkan kecepatannya. Apalagi lokasi per’buruan’ku kali ini di ujung bukit menorah, tepatnya di pedukuhan karang, desa gerbosari, kecamatan samihgaluh, Kulon Progo Yogyakarta.

Hari ini masyarakat pedukuhan karang bersiap melakukan tradisi tahunan bagi hewan peliharaan mereka. Lucu bukan...barukali ini hewan di’upacarai’. Mereka menyebutnya tradisi BARITAN, berasal dari kata lebar rit ritan. Artinya seusai penyabitan sisa-sisa jerami di sawah sehabis panen. Upacaraanya sendiri berkaitan dengan peliharaan petani yang disebut Rojokoyo yaitu sapi kerbau, dan kambing.

Air bunga, jauh hama dan penyakit
Benar kan? Terlambat sedikit...warga sudah mengajikan nazar/ permohonan sebagai awal di mulainya acara. semua nazar dibacakan, doa dipanjatkan....tak sembarang memanjatkan. Air bertabur mawar, melati dan kenanga menjadi media kabulnya doa ini.


Ramainya minta ambun. Prosesi ini sengaja dilaksanakan di areal persawahan. Jajaran pegunungan menorah, persawahan terasiring dan hijaunya lahan pertanian warga menjadi satu paket. Setiap pengunjung dapat memandang langit yang cerah, gunung dan bukit menjulang, pepohonan yang hijau, hewan yang dilepas bebas dan gemercik air. Kenyamanan ini akan menggugah perasaan kagum kebesaran sang pencipta.

Hewan hewan peliharaan para petani ini berkalungkan ketupat. Air bunga yang telah didoakan disiramkan di kepala hewan. Ini bermaknakan pembersihan hewan peliharaan agar terhindar dari penyakit dan tetap sehat.

Air bunga tersebut juga disiram di areal persawahan, tanah, tanaman pertanian agar sawah, ladang petani terhindar dari hama.

Diluar segala kepercaraan yang mungkin hanya dimengerti warga dusun, perhatian terhadap segala yang alami seperti ‘pembersihan’ hewan peliharaan, pemanfaatan areal persawahan, merupakan bagian perhatian warga terdapat ALAM. Percaya ndak percaya lihat saja pada pesta rakyat...berikut...

Pesta rakyat
Asyiknya pesta bersama warga dusun, adalah perangkat pesta dan hiburan yang alami. Hidangan khas dari Baritan ini adalah kupat. Kupat mengingatkan kita untuk “ngaku lepat” (mengaku salah) terhadap alam, hewan, atau sesama.

Lebih eksotis lagi saat kupat ini disandingkan dengan cendol, tempe tahu bacem, umbi umbian seperti jagung, kacang ketela, dan sayuran. Semua serba alami. Sembari makan suguhan taria jatilan pemuda dusun menghipnotis kita dengan ritme musiknya.

Info baritan
J.C.KUSTANTO
Karang, Gerbasari, Samigaluh,
Kulon progo Yogyakarta 55673 hp 0812 279 0353

Rabu, 07 Oktober 2009

Rancak Gerak, HUT Kota Yogyakarta

Sekitar 1500 peserta dari 27 kelompok komunitas masyarakat ambilbagian dalam pawai devile, peringatan hari ulang tahun kota Yogyakarta ke 253 (7/10). Pawai devile berawal di balai kota yogyakarta, menempuh jarak sekitar dua kilometer menuju alun alun selatan. Pawai ini mengambil tema “Dahulu-sekarang-yang akan datang”, menggambarkan reportoar masyarakat kota yogyakarta.

Karnaval jogja: rancak gerak

Berbagai kelompok masyarakat ini terdiri dari marching band kota, paskibraka, TNI AD dengan panser tempurnya, Pramuka, masyarakat pariwisata, pengemudi becak, dan kelompok seni. Khusus yang terakhir tidap kelompok mengenakan kostum yang didominasi lurik dan batik lainya rakyat jelata. Berbeda dengan atraksi di daerah lain, karnaval di yogyakarta lebih mementingkan rancak gerak tiap kelompokknya. Kelompok ini memang mempersiapkan dengan serius seluruh formasi gerakannya. Bahkan mereka sering kali beratraksi di berbagai kesempatan diujung jalan.

Parade tumpeng

Berkumpul di alun alun utara, pawai ini diakhiri dengan parade 45 tumpeng dari masing masing kelurahan di kota jogjakarta. Dalam sambutannya, walikota yogyakarta herry Zudianto mengajak masyarakat jogja untuk berkarya dan menjadi pelopor setiap kemajuan untuk bangsa ini. Rosesi ini diakhiri denganpemotongan tumpeng oleh walikota yogyakarta dan penyerahan buku “kabanaran dan Toponim kota Yogyakarta” kepada perpustakaan kota yogyakarta.

Agenda Kota Yogyakarta

Masih dalam rangka HUT kota Yogyakarta ke-45 kelurahan di kota yogyakarta akan menampilkan potensi kesenian mereka di 14 kecamatan mulai tanggal 8-16 oktober 2009. Pangung didirikan di 14 kecamatan atau 9 titik penting. Puncak HUT kota yogyakarta ini diakhiri dengan JOGJA JAVA CARNIVAL pada tanggal 17 oktober 2009 pk 16:00 WIB, yaitu karnawal di sepanjang jalan malioboro.

Minggu, 04 Oktober 2009

Solo Lautan Batik

Jl. Slamet Riyadi- Solo. Sabtu (3/10)warga solo serempak membatik dunia. Lebih dari 5000 peserta berkumpul di stadion sriwedari sejak pukul 15.00. Mereka adalah siswa SD/ SMP/ SMA/ MA bahkan kelompok masyarakat seperti komunitas Facebook, Paguyuban seni, masyarakat perbankan, dan dinas pemerintah. Masing masing dari mereka mengapresiasi diri mengenakan batik sebagai bentuk ekspresi kegembiraan penetapan Batik Indonesia sebagai World Heritage oleh UNESCO, jumat 2 Oktober 2009.
Ribuan warga ini akhirnya membanjiri jalan Slamet Riyadi Solo, tumpah ruwah ditambah dengan antusiasme warga yang ingin menonton dari dekat. Meski terkesan "berantakan" tanpa pengamanan, kirab batik solo membatik dunia ini dianggap sukses. Setiap kelompok berapresiasi dengan menari, diiringi musik perkusi. Soal kostum jangan tanya, kontum "bekas" Solo Fashion Carnival beberapa bulan lalu diolah hingga full batik. Aplikasi lukis wajah dan tatanan rambut juga disesuaikan.

Event Populer Dongkrak Kota Solo
Tahun ini memang tahun populer bagi kota solo, setelah Solo Batik Carnival, ada Solo Batik Fashion, dan terakhir Kirab Batik, solo membatik Dunia. Event terakhir ini tidak ada dalam agenda budaya tahunan, mengetahui momen 2 oktober sebagai momen penting -bahkan presiden SBY menetapkan tanggal 2 sebagai hari batik- walikota solo Joko Widodo pasang badan bergerak cepat membuat event massal. Tak hanya satu hari tangga 2 oktober pun diambil pihak swasta dengan mengadakan fashion show 350 model batik di kawasan city walk dari depan Solo Grand mall hingga ndalem Wuryaningratan.














































Soal image, tentu saja sangat mendongkrak Solo sebagai kota batik. Tanpa mengklaim dan menjadi priomordial batik, solo memang punya kepentingan dengan batik disamping dua daerah tetangganya yaitu Yogyakarta dan Pekalongan. Namun strategi pencitraan dengan event popular membuat SOLO lebih "unggul". Nah tiap daerah punya kekhasan sendiri, semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi semua...jangan berebut!!!

Senin, 28 September 2009

Seribu Ungkapan Maaf Dalam Seporsi Ketupat

Kaget bukan kepalang melihat head line berita hari ini, ‘Malaysia memasukkan ketupat sebagai makanan kebangsaannya’. Selain ketupat juga tumpeng, rendang bahkan es cendol. Ampun dah..... Tak habis pikir jadinya, negeri jiran itu cari-cari perangkat budaya seakan identitas mereka.


Bicara kupat, atau ketupat, teringat saat lebaran ini. Tepat di malam menjelang hari raya, semua orang mengepulkan dapur mereka dengan olahan khas lebaran, pastinya ketupat, atau lontong opor ayam kampung ditambah krecek pedas. Mmmm...lezat.

Tanpa diminta tapi pasti, sampailah olahan khas lebaran ini di meja saya. Ketupat tak sekedar ketupat, ketupat menyimpan makna mendalam jati diri sejati masyarakat jawa.


Cerita Ki Juru Bangunjiwo –bukan simbah, dukun atau paranormal- dia ada karib saya, sajian lebaran dalam bentuk ketupat sebenarnya mengintikan seribu permohonan maaf. Ketupat diambil dari kata telupat, dibuat dari tiga lembar anyaman dari dua janur. Janur –daun muda pohon kelapa- bagi orang Jawa melambangkan dyaning nur atau si Empunya terang. Makna lainnya juga ngaku lepat atau mengaku salah. Manusia Jawa hidup bersama dan tidak lepas dari lali, luput dan apes –lupa, salah dan naas.


Nah, saat ketupat itu mampir ke meja makan dihantar oleh tetangga dengan senyuman, inilah hantaran sekaligus tanda permohonan maaf. Ucapan maaf lahir batin mengalir dalam kelezatan ketupat dan gurihnya opor. Pastikan dyaning nur merasuk dalam hati diterima dengan lapang dada.


Kelezatannya menjadi sempurna, semangat dari tradisi ini adalah kerendahan hati mengakui semua kesalahan. Datang, menghampiri dan mengucap kata ‘maaf’ sekaligus memaafkan. Dalam pandangan sosiologis, inilah realitas sosial, sebuah upaya aktif mengupayakan perdamaian, penciptaan keharmonisan antar tetangga. Bayangkan bila hal ini terjadi di tingkat nasional. Lebaran nasional dengan ketupat nusantara. Pasti asyik hidup di bangsa yang kaya budaya dan toleransi.[pasc]

Kamis, 30 April 2009

Tradisi Untuk Rumah Baru

Heran melihat rumah baru yang kuda kuda atapnya di beri bendera merah putih dan seikat padi? Itu namanya ‘mendirikan MOLO’ atau mendirikan rumah itu sendiri. Bukan membangun tembok dan memasang kayu, mencampur semen, pasir dan air menjadi adonan bangunan. Mendirikan molo berarti membangun pondasi spiritual sebuah bangunan. Gampang gampang susah tapi orang jawa itu bila mau melakukan sesuatu harus memastikan dasrnya dulu agar kuat.

Nah..Selain bendera merah putih terdapat juga tebu, seikat padi dan kelapa gading. Semuanya dipasang diatas, diatap rumah. Ini mengartikan semua yang berada dalam rumah akan diberi kelimpahan pangan. Dasar orang jawa, kibar bendera bah 17 agustus ini belum dirasa cukup. Masih terdapat banyak perangkat lain dalam bentuk sesaji. Tak hanya di ikat dalam kuda kuda rumah tapi juga dipasang dibawah berjajar di lantai rumah. Bayangkan aja, tidak kurang dari 30 jenis perangkat saji harus dibuat. Ada nasi golong, nasi yang dikepal berbentuk bulat bermakna gumolong –bergulung menyatu. Apanya yang menyatu ya penghuni atau segala sesuatu yang menguntungkan si tuan rumah itu.

Ini baru satu nasi belum lagi nasi ambeng ambengan, kolak, ketan dan apem. Wong jowo tu biasanya menggunakan elemen alam untuk mengingatkan dirinya akan aturan aturan. Setelah memaknai nasi golong sesuai bunyinya yaitu gumolong, terdapat juga KOLAK yang mengingatkan kata TOLAK, wah agak dipaksa tapi lumayan mengingatkan. Itu lho makanan khas kampung kolak -yang kita biasa makan saat buka puasa- kalau ditaruh sebagai perangkat sesaji menjadi media ‘Tolak’ segala yang jahat. Hebat tho...!!Temennya kolak, pasti ada KETAN. Beras ketan yang direbus dikasih parutan kelapa. Enak dan gurih namun ketan disini mengingatkan kita akan sifatnya yang lengket. LENGKETNYA ketan lengket atau raketnya siapapun yang bernaung didalam rumah ini. Menyatu tidak terceraikan.

Nah untuk apem, karena bentuknya yang montok mengingatkan kita kalau sesuatu yang montok itu yang berisi –lebih baik dari yang datar. Disajikan sebagai perangkat agar rejeki rumah ini juga montok, menggelebung gitu.

Oya..ada juga berbagai hasil pertanian yang sifatnya merambat, tertimbun ditanah, dan menggantung. Ini sih hanya bagian dari sumber pangan dari alam yang dimasukkan untuk memancing melimpahnya sumber pangan dalam rumah ini.

Seluruh sesaji ini hanya didoakan oleh pak kaum, bagi yang mampu ‘mengundang ‘konco kaji untuk mendoakan bersama sama. Banyaknya! ya... sekitar 10 orang gitu. Semakin banyak yang mendoakan semakin kabul doanya. Ingat orang jawa memusatkan doa kepada TUHAN YME sebagai entitas tertinggi. Selain Yang Tertinggi juga ‘mereka’ yang ‘lain’. Orang jawa ‘mempertimbangkan’ semua mahkluk entah yang namanya eyang sapu jagat penunggu merapi, nyai ratu selatan penunggu laut selatan, nyai atau kyai penunggu rumah yang tinggal lebih dulu di area desa atau tempat wingit sekitar. Hebat ya...mereka dipertimbangkan, mendoakan, memohon ijin. Semua akan uluh dengan sesaji mendirikan molo alias ....disogok!! dengan sesaji itu tadi....he he he....

Walhasil ini baru awal...semua terbukti hingga rumah itu berdiri. Soal lancar tidaknya....menggunung tidaknya rejeki...atau harmonis tidaknya pengghuni dalam sehari setelah berdirinya rumah? Atau seminggu .....atau setahun.....ya gak tau!!! Molo sudah tidak mau urusan rumah tangga orang. Toh tugasnya selesai sejak rumah itui terbangun tanpa gangguan!!! [pasc]

Menu Spesial: Kepala Kerbau Bagi Sang Bhatari

persiapan perangkat di altar alas Krendawahana
Foto: Pascalis P.W.

Kepala kerbau sebagai menu santap siang, pasti lezat selezat makanan olahan kepala kerbau di masa kerajaan Demak. Itu terjadi karena kerajaan Demak begitu menghormati tradisi Majapahit yang notabene beragama Hindu dan menghormati sapi sebagai wahana Dewa Wisnu. Dengan begitu tradisi qurban yang biasanya menyembelih sapi, diganti dengan kerbau.

Tak hanya masa kerajaan yang penuh dengan romantisme kekuasaan dan keasrian, masa teknologi digital sekarang masih saja yang menyembelih kerbau untuk sarana sesaji. Hebat bukan? Kerbau tu mahal dan bukan keluarga kraton kasunanan Surakarta bila tidak mampu menyelenggarakan kebiasaan ini. Kepala kerbau ini sengaja dibawa untuk dijadikan sesaji bagi bhatari Kalayuani di alas Krendowahana –sekitar 10 km arah utara kota solo.

Kepala kerbau, walang, bahkan ciu –minuman fermentasi- menjadi menu spesial bagi sang Bhatari penungu alas Krendawahana. Tak sembarang kerbau, kerbau yang ini sangat lezat bila disajikan saat masih perjaka alias belum pernah kawin dan belum pernah dipekerjakan. Alas Krendawahana adalah benteng utara kraton surakarta, pantas kiranya bila benteng spiritual ini masih dipertimbangkan. Dulu alas Krendawahana menjadi pusat dari seluruh penjaga dunia spiritual Jawa. Tak hanya negeri girimulto –tahun 387 m, kerajan Pengging, bahkan kerajaan Demak dengan 9 walinya pun harus mengikuti tradisi ini karena tak mempan menanggulangi bebendu –bencana- yang melanda negeri Demak saat itu. Sunan Kalijaga lah yang mendapat wahyu untuk memasan sesaji di alas Krendawahana. Tentu saja beberapa prosesinya diutak atik agar sesuai dengan aturan keislaman, termasuk diantaranya doa yang dipimpin oleh para sunan.

Saat ini mahesa lawung –begitu para abdi dalem ini menyebutnya, dilaksanakan untuk menjaga keutuhan kraton surakarta dan bangsa Indonesia. Hebat bukan hanya dengan kepala kerbau semua orang menjadi selamat. [pasc]